Uwaaaoowww,,
what’s app bro and sist?? Apa kabar semuanya?
Well,
kali ini gue pengen share pengalaman unik gue. Kebetulan satu suro kemarin
jatuh di tanggal 15 November 2012, jadi malamnya itu ada acara yang udah nggak
asing lagi bagi warga Kota Solo yaitu Kirab Malam Satu Suro atau biasa disebut
Kirab Kebo Bule. Waktu itu, gue beruntung banget soalnya gue pas lagi jaga
malem. Jadinya, si kebo tuh pasti lewat di depan tempat kerja gue yaitu di
Puskesmas Gajahan Surakarta yang letaknya di Jalan Veteran.
Gue
langsung kegirangan soalnya ini emang baru pertama kalinya, seumur hidup gue,
gue nyaksiin secara live #gilaak kayak konser Suju aja, si kebo-kebo itu lewat.
Biasanya sih gue cuma nonton tayangannya di televisi aja. Tapi ternyata,
antusias warga Kota Solo saat itu besar banget. Buktinya, dari kakek nenek,
bapak ibu, remaja cowok cewek, bahkan sampai anak-anak pun rela enggak tidur
cuma mau nungguin si kebo lewat #gue salut banget #applause
Daripada
lihat dari emperan puskesmas gue, gue membaur tuh sama masyarakat yang
jumlahnya bejibun dan duduk-duduk manis di jalan raya #aksi ini baru pertama
kali gue lakukan. Soalnya kalo dari kejauhan, yang kelihatan hanya sekerumunan
warga aja. Padahal nih, gue udah punya niat jadi wartawan amatiran buat
nge-abadiin momen si kebo lewat pakai kamera ponsel gue. Jadinya, gue rela
berdesak-desakan demi ngambil video saat si kebo lewat di depan gue #gilaak si
kebo mendadak jadi artis yak.
Gue
memang bukan warga Solo asli, tapi gue seneng banget sama acara-acara begituan
yang masih mengedepankan tradisi dan budaya Jawa. Apalagi acara itu kan hanya
diselenggarakan satu kali dalam setahun. Biar nggak penasaran, gue mau ngasih
tahu sama bro and sist semuanya yang pada belum tahu apa sih Kirab Malam Satu
Suro ituw?? Tetapi sebelum gue jelasin #ceilaah kayak bu guru ajah, kita perlu
tahu dulu donk sejarahnya Kirab Malam Satu Suro atau Kirab Kebo Bule itu. Berikut
gue comot sejarahnya dari Fan Pagenya Kota Solo di Facebook : Fan Page Kota Solo
atau Twitter: @fp_kotasolo
Pada
tahun 931 Hijriyah atau 1443 tahun Jawa Baru, yaitu pada zaman pemerintahan
Kerajaan Demak, Sunan Giri II telah membuat penyesuaian antara sistem kalender
Hijriyah dengan sistem kalender Jawa pada waktu itu. Waktu itu, Sultan Agung
menginginkan persatuan rakyatnya untuk menggempur Belanda di Batavia, termasuk
ingin “menyatukan Pulau Jawa”. Oleh karena itu, beliau ingin rakyatnya tidak
terbelah, apalagi disebabkan karena perbedaan keyakinan agama. Sultan Agung
Hanyokrokusumo ingin menyatukan kelompok santri dan abangan, maka pada setiap
hari Jumat Legi, dilakukan laporan pemerintahan setempat sambil dilakukan
pengajian yang dilakukan oleh para penghulu kabupaten, sekaligus dilakukan
ziarah kubur dan haul ke makam Sunan Ngampel dan Sunan Giri. Akibatnya, 1
Muharram (1 Suro) yang dimulai pada hari Jumat Legi ikut-ikut dikeramatkan
pula, bahkan dianggap sial kalau ada orang yang memanfaatkan hari tersebut di
luar kepentingan mengaji, ziarah, dan haul.
1 Suro menurut
orang Jawa menandai bergantinya Naga Dina dan Naga Tahun, yakni berubahnya
sifat dan karakter kosmis, berserta dunia gaib, yang secara langsung diyakini
mempengaruhi kehidupan manusia di bumi. Orang Jawa melengkapi ritual kehidupan
tersebut sebagai wujud rasa syukur kepada Sang Maha Tinitah, yang diyakini sebagai
Dzat Suci yang memberi hidup dan menghidupi. Oleh sebab itu, pergantian tahun
adalah terjadinya pergantian kosmis, yang disebut sebagai siklus
Cakramanggilingan. Kehidupan diasumsikan berputar silih berganti seperti
berputarnya roda. Ada saat zaman keemasan (age d’or), ada saat juga zaman
mengalami masa kegelapan/kalabendu (age d’sombre). Di zaman yang bergulir
itulah manusia harus selalu eling (ingat) dan waspada.
Bagi raja,
sebagai rasa tanggung jawab kepada seluruh rakyat yang dipimpinnya, yang telah
memberikan kuasa kepadanya, maka raja melakukan kirab untuk menjenguk setiap
sudut rumah warga, dengan harapan, tuah dan berkahnya dapat memasuki setiap
pintu rumah-rumah penduduk. Raja beserta pusaka-pusakanya adalah manifestasi
yang sama untuk mempromosikan dan menjelaskan secara simbolik antara raja
dengan masyarakatnya. Di sisi lain ini adalah bentuk pengaplikasian Rukun Jawa
yang kelima, yaitu Laku (Rukun Jawa antara lain: Rukun, Hormat, Halus, Asih,
dan Laku). Rukun yang terakhir itulah yang dijalankan oleh orang Jawa, yaitu
berjalan mengelilingi keraton tujuh kali. Di setiap pojok keraton mengucapkan
puja dan puji syukur, disertai dengan permohonan-permohonan. Maka, Malam 1 Suro
adalah salah satu wujud hubungan antara manusia dengan Khaliknya dalam upaya
mencari keseimbangan dan keserasian hidup dengan penuh harap di tahun mendatang
untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik.
Trus, apa sih Kirab Malam Satu Suro itu? Ini nih penjelasannya
biar gak bingung,,, :D
Malam
1 (Satu) Suro bagi sebagian masyarakat Jawa (khususnya) masih dianggap sakral.
Terlebih jika malam satu Suro tersebut jatuh pada malam Jum’at Legi. Berbagai ritual (atau) tradisi senantiasa
mengiringi malam satu Suro. Diantaranya ada yang tapa bisu, kungkum, ataupun
sekedar tirakatan dengan cara lek-lekan secara bersama-sama di pos ronda.
Tradisi unik menyambut satu Suro juga ada di Kota Surakarta tepatnya di Keraton
Kasunanan Surakarta. Tradisi unik yang diadakan rutin setahun sekali tersebut
yakni Kirab Kebo Bule dan Pusaka Keraton.
Kebo bule atau
kerbau albino ini memang binatang peliharaan Keraton Surakarta. Konon nenek
moyang kerbau ini merupakan binatang kesayangan Sri Susuhunan Pakubuwono II.
Sehingga kebo bule ini dikeramatkan, dan menjadi salah satu pusaka paling penting
di Keraton Surakarta Hadiningrat. Kirab atau arak-arakan Kebo bule ini sendiri
biasanya dimulai pada tengah malam. Kerbau (yang kandangnya ada di alun-alun
kidul), tanpa digiring akan berjalan sendiri menuju halaman keraton. Jika sudah begitu, berarti kirab siap
dimulai.
Kebo atau
kerbau bule ini sering disebut dengan kebo kyai Slamet lantaran secara turun
temurun, kerbau albino ini dipercaya sebagai penunggu pusaka kyai slamet (salah
satu pusaka milik keraton Surakarta yang kasat mata). Dalam kirab malam satu Suro, kebo kyai Slamet
selalu berada di barisan paling depan sekaligus bertindak sebagai cucuk lampah
kirab. Di belakangnya menyusul barisan para Putra Sentana Dalem (kerabat keraton)
yang membawa pusaka, lampu-lampu keraton maupun obor bambu dengan mengenakan
busana Jawi lengkap, kemudian diikuti oleh masyarakat Solo dan sekitarnya yang
hendak menyaksikan acara kirab secara langsung.
Kirab biasanya
dimulai dari halaman keraton menuju alun-alun utara, Gladak, Jl. Mayor
Kusmanto, Jl. Kapten Mulyadi, Jl. Veteran, Jl. Yos Sudarso, Jl. Slamet Riyadi,
Gladak, dan kembali ke keraton atau lebih kurang sejauh 3 km. Adapun kirab
tersebut dimaksudkan sebagai penolak bala.
Sumber : wisata.kompasiana.com/.../11/.../tradisi-unik-di-malam-1-suro-kirab-kebo-bule-508988.html
Sekarang udah tau kan?? Jadi tambah nih ilmunya. #wakakakak. Nah, kalo penasaran gimana sih
acaranya, liat aja nih videonya si kebo yang sempet gue abadikan tanggal 15
November kemarin.
Thank you very much, Kamsahamnida, Arigatou Goaimasu, Xie xie....